Termasuk pembatal wudhu adalah keluarnya sesuatu dari dua jalan secara mutlak. Ini kelanjutan pembahasan kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di.
Kitab Ath-Thaharah (Bersuci), Bab Nawaqidh Al-Wudhu (Pembatal Wudhu)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
Bab Pembatal-Pembatal Wudhu, yaitu: Keluar sesuatu dari dua jalan secara mutlak.
Kencing, Buang Air Besar dan Kentut Membatalkan Wudhu
Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau kembali dari tempat buang air (kakus).” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan al-ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang luas, sebagaimana disebut dalam Al-Mu’jam Al-Wasith. Al-ghoith juga adalah kata kiasan untuk tempat buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini. (Al-Mughni, 1:195)
Para ulama sepakat bahwa wudhu menjadi batal jika keluar kencing dan buang air besar dari jalan depan atau pun belakang. (Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:127)
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.” (HR. Bukhari, no. 135). Para ulama pun sepakat bahwa kentut termasuk pembatal wudhu. (Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:128)
Keluarnya Cairan Lain Membatalkan Wudhu
Begitu juga jika yang keluar adalah madzi, wadi, dan mani, wudhunya batal. Juga keluarnya darah termasuk pembatal wudhu, seperti pembicaraan mengenai darah istihadhah.
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqaddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.
Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani–menurut pendapat yang lebih kuat–termasuk cairan yang suci. Cara menyucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu.
Tentang madzi, ada cerita dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al-Miqdad bin Al-Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al-Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian suruh ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 269 dan Muslim, no. 303)
Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al-Baihaqi, no. 771. Syaikh Abu Malik–penulis Shahih Fiqh As-Sunnah–mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih).
Wallahu a’lam. Moga menjadi ilmu yang bermanfaat. Berlanjut lagi insya Allah tentang pembatal wudhu.
Referensi:
- Shahih Fiqh As-Sunnah. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyah.
- Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan ketiga, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. Hlm. 54-55.
—
Materi kajian Kamis Sore di MPD, diselesaikan di Darush Sholihin pada 1 Jumadal Ula 1439 H menjelang Shubuh
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com